Monday 27 September 2010

Penanganan Sepsis

Djoko Widodo, Arya Govinda
Subbagian Penyakit Tropik Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta

Abstrak
. Sepsis didefinisikan sebagai respons inflamasi sistemik karena infeksi. Respons inflamasi ini terjadi karena invasi mikroorganisme ke dalam jaringan. Angka kejadian sepsis dan komplikasinya saat ini cukup tinggi dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di unit perawatan intensif medik dan bedah. Sepsis dapat disebabkan oleh virus, kuman Gram negatif, kuman Gram positif dan jamur. Saat ini infeksi kuman Gram negatif masih merupakan penyebab utama sepsis tetapi didapatkan peningkatan infeksi kuman Gram positif dan jamur sebagai penyebab sepsis. Pada pemeriksaan mikrobiologi didapatkan tidak semua kuman dapat ditemukan dalam darah atau lokasi dugaan terjadinya infeksi. Patogenesis sepsis saat ini masih belum diketahui secara pasti, mengingat kompleksnya mekanisme melibatkan banyak mediator proinflamasi dan anti inflamasi yang saling berinteraksi satu dengan lain sehingga menyebabkan kerusakan atau disfungsi endotel. Penanganan sepsis saat ini meliputi terapi baku, kontroversial dan terapi masa depan. Terapi baku meliputi oksigenisasi (termasuk bantuan napas), resusitasi cairan (koloid dan kristaloid), eradikasi kuman penyebab (bedah dan antibiotik), vasoaktif, inotropik dan suportif lain seperti koreksi gangguan asam basa, nutrisi, regulasi gula darah, koagulasi intravaskular diseminata dan lainnya. Terapi kontroversial meliputi kortikosteroid dan antiinflamasi nonsteroid. Perkembangan kemajuan bidang kedokteran terutama berkaitan dengan pemahaman patogenesis sepsis menjadi dasar terapi masa depan seperti: antitrombin III, antibodi monoklonal (HA-1A dan E5 murine IgM antibodi), antagonis reseptor interleukin-1, antiTNF dan anti nitric oxide.

Kata kunci: Sepsis

Manajemen Pankreatitis Akut

JB Suharjo B Cahyono
Bagian Penyakit Dalam
RS RK Charitas Palembang

Abstrak. Pankreatitis akut terjadi akibat proses autodigesti jaringan pankreas oleh enzim yang dihasilkan pankreas sendiri. Patogenesis pankreatitis akut sangat kompleks dan multifaktorial. Terjadinya pankreatitis akut diawali karena adanya jejas di sel asini pankreas yang dapat disebabkan oleh karena; obstruksi duktus pankreatikus, stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi enzym pankreas, atau oleh karena iskemia sesaat sehingga dapat meningkatkan degradasi enzim pankreas. Sekitar 80% perjalanan klinis pankreatitis akut bersifat ringan dengan mortalitas 1%, dan sebanyak 10-20% berkembang menjadi pankreatitis akut berat dengan risiko mortalitas 20-50%. Komplikasi pankreatitis akut berat dapat bersifat lokal (abses, nekrotik, pseudocyst) atau bersifat sistemik (gagal organ multipel). Manajemen pankreatitis akut tergantung pada derajat penyakitnya. Pankreatitis akut ringan tidak perlu tindakan operatif, cukup terapi konservatif dan tidak perlu antibiotika. Sementara itu manajemen pankreatitis akut berat bersifat interdisipliner yang melibatkan intencivist, radiologist, endoscopist dan dokter bedah, dan memerlukan perawatan khusus, bila perlu di ICU, mengingat risiko terjadinya gagal organ multipel pada minggu pertama perjalanan penyakit. Terapi suportif, nutrisi enteral dan pemberian antibiotika profilaktik pada pankreatitis nekrosis akut dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeser dari tindakan pembedahan awal ke perawatan intensif agresif. Seiring dengan kemajuan di bidang radiologi dan endoskopi, intervensi tindakan bedah dapat diminimalisasi. Tindakan bedah diindikasikan apabila ada pankreatitis nekrosis akut terinfeksi.

Kata kunci: Pankreatitis akut

Interaksi antara Antimikroba dengan Sistem Fagosit Neutrofil dan Monosit/Makrofag

I Made J
Staf Pengajar
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Unversitas Udayana
Denpasar

Abstrak. Keefektifan suatu antimikroba dalam pengobatan penyakit infeksi tergantung dari interaksi antara bakteri, obat antimikroba dan sistem fagosit dalam tubuh. Beberapa antimikroba dilaporkan dapat menimbulkan modifikasi terhadap sistem imunitas tubuh baik secara in vitro maupun secara in vivo. Obat antimikroba akan mempengaruhi interaksi antara neutrofil dengan mikroba melalui berbagai cara, dan begitu juga sebaliknya neutrofil dapat mengganggu aktivitas antimikroba dalam tubuh. Kebanyakan antimikroba golongan 􀁅-laktam dan quinolone memiliki efek sinergis dengan sistem fagosit dalam menghancurkan kuman di dalam sel neutrofil, oleh karenanya obat tersebut disebut obat yang bersifat imunostimulator. Sebaliknya beberapa antimikroba seperti cyclins, chloramphenicol, sulfonamid dan trimethoprim dapat menekan fungsi imunitas tubuh. Beberapa antimikroba memiliki efek yang meragukan terhadap sistem imunitas.

Kata Kunci: Antimikroba, neutrofil, monosit/makrofag

Pendahuluan
Sistem imun tubuh sangat penting dalam menentukan derajat kesehatan seseorang. Menurunnya fungsi sistem tersebut akan memudahkan terjadinya penyakit infeksi dengan berbagai komplikasi. Sistem imun tubuh tersebut terdiri dari imunitas selular dan imunitas humoral. Neutrofil dan monosit/makrofag adalah bagian dari imunitas selular yang merupakan komponen utama dari sistem imun.1 Neutrofil dan monosit/makrofag sangat penting dalam proses fagosit sehingga sebagian besar kuman yang menginvasi tubuh dapat dibinasakan. Oleh karena itu, neutrofil dan monosit/makrofag disebut juga sistem fagosit yang penting dalam tubuh. Namun demikian, pada zaman sebelum ditemukan antimikroba, dengan mengandalkan sistem fagosit seperti neutrofil dan monosit/makrofag, ternyata banyak penyakit infeksi yang sulit diatasi sehingga penyakit infeksi merupakan masalah besar, pada masa tersebut.2 Dengan ditemukannya berbagai jenis antimikroba, penanganan penyakit infeksi nampaknya menjadi semakin mudah.

Hepatitis Virus

Tantur Syahdrajat
Dokter Klinik MER-C (Medical Emergancy Rescue Community)
Jakarta

Abstrak. Hepatitis adalah suatu keadaan peradangan jaringan hati, yang dapat disebabkan oleh infeksi atau non infeksi. Salah satu gejala yang dapat terlihat pada pasien hepatitis adalah kulit dan sklera mata menjadi berwarna kuning (ikterus). Hepatitis biasanya terjadi karena virus, terutama virus hepatitis A, B, C, D, dan E. Virus tersebut dapat menyebabkan keadaan
hepatitis akut dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang paling berat, bahkan kematian. Hepatitis A dan E tidak menyebabkan kronisitas, sebaliknya hepatitis B, C, D dapat menimbulkan keadaan infeksi yang menetap yang akan menjadi hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati.1

Kata kunci: Hepatitis virus

Pendahuluan
Hepatitis adalah suatu keadaan peradangan jaringan hati, yang dapat disebabkan oleh infeksi atau non infeksi. Salah satu gejala yang dapat terlihat pada pasien hepatitis adalah kulit dan sklera mata menjadi berwarna kuning (ikterus). Ikterus ialah suatu keadaan di mana plasma, kulit, dan selaput lendir menjadi kuning yang diakibatkan pewarnaan berlebihan oleh pigmen empedu (bilirubin). Ikterus epidemik pertama dilaporkan oleh Hippocrates. Dalam Perang Dunia ke-2 telah dilaporkan berbagai epidemi ikterus, terutama yang terjadi di Timur Tengah dan Italia.1

Hepatitis B

Nurul Akbar
Divisi Hepatologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM

Abstrak. Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Hepatitis B hampir 100 kali lebih infeksius dibandingkan dengan virus HIV. Apabila seseorang terinfeksi dengan virus ini maka gejalanya dapat sangat ringan sampai berat sekali. Pada orang dewasa dengan infeksi akut biasanya jelas dan akan sembuh sempurna pada sebagian besar (90%) pasien. Akan tetapi pada anak-anak terutama balita, sebagian besar dari mereka penyakitnya akan berlanjut menjadi menahun. Pencegahan dan pengobatan yang tepat dan segera akan dapat memperbaiki penyakit dan mencegah terjadinya komplikasi.

Kata kunci: Hepatitis B, pencegahan, pengobatan

Pendahuluan
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Hepatitis B hampir 100 kali lebih infeksius dibandingkan dengan virus HIV. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda. Angka kejadian di Indonesia mencapai 4%-30% pada orang normal, sedangkan pada penyakit hati menahun dapat ditemukan angka kejadian 20%-40%. Apabila seseorang terinfeksi dengan virus ini maka gejalanya dapat sangat ringan sampai berat sekali. Pada orang dewasa dengan infeksi akut biasanya jelas dan akan sembuh sempurna pada sebagian besar (90%) pasien. Akan tetapi pada anak-anak terutama balita, sebagian besar dari mereka penyakitnya akan berlanjut menjadi menahun.

Sunday 26 September 2010

Cairan Hemodialisis

Manusia normal memiliki dua buah ginjal walaupun kadangkadang terdapat orang yang dilahirkan hanya dengan satu ginjal saja, tetapi mereka dapat hidup normal pula. Selain menghasilkan urin, ginjal memiliki banyak fungsi, yaitu :
• Mengeluarkan kelebihan air dari tubuh dalam bentuk urin
• Mengeluarkan produk-produk sisa dari dalam tubuh
• Ikut berperanan dalam pembentukan darah
• Membantu mempertahankan integritas tulang
• Memegang peranan penting untuk mempertahankan tekanan darah normal.
Walaupun demikian, seseorang dapat mengalami gagal ginjal, di mana kedua ginjal orang tersebut tidak dapat melakukan fungsinya oleh karena suatu proses penyakit. Pada umumnya seseorang mulai merasa sakit dan memerlukan cuci darah (dialisis) apabila fungsi ginjalnya telah turun sampai sekitar 5% dari keadaan normal. Gagal ginjal dapat timbul tiba-tiba (akut) ataupun perlahan-lahan (kronis). Pada umumnya gagal ginjal akut bersifat sementara dan reversibel, sedangkan gagal ginjal kronis bersifat permanen. Banyak macam penyakit yang dapat mengakibatkan gagal ginjal, tetapi akibat akhirnya pada umumnya sama, yaitu :

Imunisasi Campak dan Beberapa Permasalahannya

Djoko Yuwono
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN
Imunisasi campak di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1982/1983 dalam rangka program Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Imunisasi campak di Indonesia dipandang
perlu dilaksanakan di dalam suatu program, karena hasil penelitian telah membuktikan bahwa angka kesakitan dan kematian akibat penyakit campak di Indonesia mencapai 10% – 26%1,2,3. Berpedoman pada hasil penelitian tersebut dan adanya laporan dari berbagai propinsi mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit campak, maka Departemen Kesehatan RI menetapkan untuk melaksanakan imunisasi campak dalam program PPI. Imunisasi campak di Indonesia dianjurkan untuk diberikan pada anak-anak sejak umur 9–14 bulan, tanpa imunisasi ulangan. Alasannya adalah bahwa pada umur tersebut merupakan umur anak yang paling rentan terhadap infeksi virus campak, dan pada umur tersebut kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu sudah tidak ditemukan lagi. di dalam tubuh anak. Adapun jenis vaksin yang dipergunakan adalah further five attenuated measles vaccine strain Schwarz, yang dikultur pada biakan sel fibroblast embryo ayam4. Sampai saat ini pelaksanaan imunisasi campak di Indonesia pada akhir Pelita IV ditargetkan mencapai cakupan imunisasi sebesar 65%, dengan kemampuan yang tersedia pada saat ini cakupannya
telah mencapai 45%, dan diharapkan pada akhir Pelita IV nanti target yang telah ditentukan akan dapat tercapai5.

Pengobatan Epilepsia dengan Karbamazepin

Dr. Tanumihardja
Surabaya

PENDAHULUAN
Di antara berbagai antikonvulsan yang kini beredar di pasaran, salah satu jenis di antaranya ialah Carbamazepine atau 5-Carbamoxyl-5-H-dibenz (b, f) azepine (= Tegretol, Geigy)1. Carbamazepine dikatakan efektif untuk mengendalikan serangan epilepsi dari segala jenis, kecuali petit mal. Carbamazepine juga dikatakan efektif untuk mengatasi gejala psikik yang menyertai epilepsi tanpa menimbulkan sedasi yang menyolok.
Berhubung hampir semua antikonvulsan yang beredar di pasaran dewasa ini memiliki sedikit efek sedasi, yang membuat penderita epilepsi sering tidak dapat melanjutkan studi atau sering diberhentikan dad pekerjaan mereka. Di samping itu, banyak penderita epilepsi sering memperlihatkan kelainan tingkah laku yang hingga kini masih belum berhasil diatasi dengan baik, meskipun dengan berbagai pengobatan gabungan.
Dengan terdapatnya sejenis obat antikonvulsan yang dikatakan efektif untuk mengendalikan serangan dan sekaligus dapat menghilangkan gejala psikik yang menyertai epilepsi tanpa menimbulkan sedasi, akan mcmudahkan pengobatan epilepsi dan juga tidak akan mengganggu kegiatan penderita sehari-hari.
Tujuan penulisan makalah ini ialah untuk menilai efek Carbamazepine pada penderita epilepsi dan efek samping obat tersebut.

Terapi Artritis dengan Yttrium - 90

Dr. Sugiyono*
Bagian Kedokteran Nuklir, PSPKR BATAN, Jakarta

Radang kronis pada sendi lutut (Synovitis chronica) yangdisebabkan oleh Rematoid artritis dan Osteoartrosis biasanya sukar pengobatannya. Pengobatan klasik yaitu dengan medikamentosa, termasuk di sini pemberian kortikosteroid secara intra artikuler, pada batas-batas tertentu pengobatan tersebut masih dapat berefek dengan baik. Apabila dengan medikamentosa tidak mempan lagi, maka sinofektomi merupakan alternatif pilihan.
Sampai saat ini ada 3 cara untuk melakukan sinofektomi yaitu: 1) operatif 2) pemberian bahan kimia secara intra artikuler dan 3) pemberian radionuklida secara intra artikuler.
Operatif biasanya dilakukan pada radang sendi yang ringan. Pemberian bahan kimia secara intra artikuler, misalnya dengan injeksi asam osmat (osmic acid) sudah banyak ditinggalkan oleh pusat-pusat kedokteran nuklir karena efek samping yang cukup serius. Efek samping tersebut berupa kerusakan jaringan sinovia yang hebat dan berakibat rusaknya susunan sendi lutut.

Sklerema Neonatorum

Dr Nurdin Badollah dan Dr Nassir Abbas
I,aboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin/RSU Ujung Pandang,
Ujung Pandang

PENDAHULUAN
Sklerema neonatorum (SN) ialah suatu penyakit akut dengan pengerasan jaringan lemak di bawah kulit. Kelainan ini yang tidak jarang dijumpai pada neonatus, biasanya menyertai suatu penyakit berat seperti prematuritas, diare dehidrasi, bronkopneumoni dan sepsis1,2,3
SN pertama kali dilaporkan dalam tahun 1722 oleh 'Uzenbenzius, tetapi baru tahun 1784 gejala-gejala klinik yang lebih lengkap dilaporkan oleh Underwood sehingga SN disebut pula
"Underwood's disease".
Sebelum pemakaian antibiotika dan kortikosteroid, Hughes & Hammond (1948) mencatat angka kematian SN, 75%. Erwin Sarwono dkk (1970) inengemukakan bahwa transfusi darah segar, memberikan hasil yang lebih baik, angka kematian menjadi 60,7% bila dibandingkan dengan kasus-kasus tanpa transfusi4. Sumampouw dkk5 melaporkan mortalitas SN secara keseluruhan 60%, pada kelompok transfusi hanya 20% dan yang tidak diberikan darah 80%.
Tulisan ini membahas secara singkat beberapa aspek SN.
 
PATOGENESIS

Pemeliharaan Pendengaran di Industri

Dr. M.S. Wiyadi
Litb./U.P.F. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

PENDAHULUAN
Pada tempat-tempat industri, sesuatu yang mengancam pendengaran manusia ialah suara bising yang ditimbulkan oleh suara mesin pabrik atau suara-suara lain yang ditimbulkan oleh
pekerjaan-pekerjaan pada industri tersebut.
Suara bising akan menimbulkan gangguan pendengaran atau ketulian pada seseorang yang bekerja atau berada di lingkungan industri. Istilah-istilah occupational deafness, industrial deafness, noise induced hearing loss, trauma akustik, adalah istilah-istilah untuk menggambarkan ketulian akibat suara bising. Bila suara bising menyebabkan ketulian pada anggota militer, disebut military deafness.
Ketulian ini sifatnya neuro-sensorik dan ireversibel. Untungnya ketulian ini bisa dicegah, dengan cara penanggulangan bising di industri yang pada hakekatnya adalah pemeliharaan pendengaran di industri. Pemeliharaan pendengaran di industri ditujukan untuk mencegah terjadinya ketulian bagi pekerjapekerja yang masih normal telinganya dan mencegah agar tak jadi lebih jelek pada pekerja-pekerja yang sudah terdapat kekurang pendengaran.
Maksud dari tulisan ini untuk membicarakan akibat kebisingan pada manusia, terutama pada telinganya, dan caracara menanggulangi kebisingan agar tidak merusak pendengaran para pekerja di lingkungan industri.

Hipertensi dengan Kehamilan

Dr. Jose Roesme, Dr. Endang Susalit, Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Da/arn
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

Berdasarkan pengalaman klinik dalam penanggulangan hipertensi dengan kehamilan di Indonesia dengan penyesuaian terhadap lingkungan dan fasilitas yang tersedia bagi sebagian besar dokter di Indonesia, dirasakan perlu adanya suatu upaya klasifikasi baru mengenai hipertensi dengan kehamilan. Tujuan klasifikasi baru ini adalah untuk mempermudah diagnostik dengan memberikan beberapa tolok ukur klinik dan untuk menyeragamkan catatan medik agar dapat membantu epidemiologi dan penanggulangan hipertensi dengan kehamilan dimasa depan.
Dalam Kongres Internasional Society of Hypertension in Pregnancy' , diusulkan suatu kiasifikasi klinis yang dirasakan cocok untuk negara kita. Makalah ini berusaha menyebarluaskan klasifikasi baru ini untuk mendapatkan umpan balik dari pembaca.
 
BEBERAPA TOLOK UKUR KLINIS

Hipertensis Pada Diabetes Melitus

Dr. Wiguno P, Dr. M.S. Markum, Dr. Roemiati 0, Dr. R.P. Sidabutar
Sub Bagian Gin/al dan Hipertensi Bagian Ilmu Penvakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

Diabetes melitus dan hipertensi adalah dua keadaan yang berhubungan erat dan keduanya  merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Insidensi hipertensi pada penderita diabetes melitus lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus, dan pada beberapa penelitian dibuktikan, kenaikan tersebut sesuai dengan kenaikan umur dan lama diabetes. Diperkirakan 30–60% penderita diabetes melitus mempunyai hubungan dengan hipertensi1,2,3.
Hipertensi pada diabetes melitus meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan pembuluh darah serebral dan terjadinya gagal ginjal. Kelainan pada mata akibat diabetes melitus yang berupa retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi..Oleh karena itu, hipertensi pada diabetes melitus perlu ditanggulangi secara seksama. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan mengenai patogenesis hipertensi pada diabetes melitus, dan berbagai obat anti-hipertensi serta pengaruhnya terhadap diabetes melitus.
 
PATOGENESIS1,3,4
Hipertensi pada diabetes melitus dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu1:

Nefropati Imunoglobulin A

Dr. M.S. Markum, Dr. Suhardjono, Dr. Endang Susalit, Dr. Jose Roesma
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Raglan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

Di kawasan ASEAN, Singapura-lah yang pertama-tama melakukan penelitian yang meluas terhadap nefropati IgA, yaitu sejak ditemukannya kasus pertama pada tahun 1973. Pada tahun 1974, yaitu pada First Colloquim in Nephrology, Sinniah et al. mempresentasikan hal ini dengan lebih lengkap.l
Perhatian terhadap nefropati IgA dicetuskan oleh Berger dan Hinglais pada tahun 1968. Mula-mula para peneliti kurang menaruh minat terhadap publikasi ini, tetapi kemudian makalah mengenai nefropati ini meningkat sekali jumlahnya. Misalnya pada seminar mengenai glomerulonefritis di Australia pada tahun 1972, telah diberikan perhatian khusus untuk nefropati IgA, tetapi masih bersifat inventarisasi masalah; belum nyata ke mana arah penelitian lebih lanjut harus di lakukan.2 Dalam Kongres Nefrologi Asia-Pasifik di Tokyo pada tahun 1979, pembahasan tentang penyakit ini sudah lebih mendalam. Peranan IgA polimer, peranan antigen, peranan OKT4 dan OKT8 dalam patogenesis nefropati IgA mulai diteliti3.Selanjutnya akhir-akhir ini pembahasan tentang nefropati IgA hampir selalu muncul pada tiap majalah nefrologi.

Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih (Suatu Rangkuman Seminar)

RP Sidabutar
Subbag Ginjal & Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI – RSCM
Jakarta

Usaha untuk menyelenggarakan seminar Penyakit Ginjaldan Saluran Kencing ini patut dihargai, karena pada seminar ini dihimpun para akhli dari Indonesia dan seorang akhli dari negara tetangga, yang mengemukakan kemajuan-kemajuan mutakhir serta data-data regional, nasional dan lokal. Pada seminar ini kita mendapat kesempatan untuk menilai sampai dimana kemajuan kita di Indonesia, dibandingkan dengan kemajuan Intemasional dan membandingkan data-data Internasional dengan keadaan faktual di Indonesia.
Judul-judul yang dikemukakan, terpilih, dikemukakan secara menarik, dengan gaya masing-masing pembicara yang tersendiri.
Digambarkan usaha untuk :

Forced Diuresis pada Keracunan

Iwan Darmansyah
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta

Forced diuresis atau diuresis paksa adalah tindakan untuk mengatasi keracunan dengan jalan mempercepat ekskresi obat melalui urine. Tindakan ini bukan satu-satunya dan bersama dengan dialisis peritoneal, hemodialisis, "exchange transfusion" dan hemoperfusi merupakan salah satu cara untuk mengeluarkan racun lebih cepat dari tubuh.
Walaupun forced diuresis merupakan tehnik yang baik untuk mengatasi keracunan, metode ini tidak dapat diterapkan begitu saja pada tiap kasus. Juga karena mudahnya prosedur memasang IVFD, maka forced diuresis terlalu sering dan mudah digunakan untuk keadaan yang jelas tidak membawa manfaat dan kadang-kadang malah dapat membahayakan jiwa penderita. Mengerjakan forced diuresis pada seorang penderita keracunan memerlukan pertimbangan "benefitrisk" yang seksama. Perlu dipertimbangkan apakah tindakan ini akan memperbesar ekskresi obat dan mempercepat pulihnya kesadaran atau bukankah penyembuhan akan terjadi dengan cepat dan alamiah tanpa forced diuresis? Penilaian keberhasilan forced diuresis harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena "controlled studies" sulit dilaksanakan berhubung penyembuhan penderita ditentukan oleh faktor penentu yang sangat variabel.

Gangguan Pancaran Saluran Air Kemih

Buchari Kasim
Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran USU/ RS Dr. Pirngadi,
Medan

PENDAHULUAN
Perjalanan terakhir air kemih akan dipancarkan ke dunia luar melalui meatus di bagian distal urethra. Walaupun seluruh sistem saluran air kemih sudah baik, namun jika pancaran ke dunia luar ini terganggu, akan menimbulkan penyakit yang memberi keluhan kepada penderita. Keluhan di sini lebih banyak terganggu kenikmatan hidupnya tanpa secara langsung membahayakan kelangsungan hidupnya sendiri.
Gangguan kenikmatan hidup ini akan bertambah mengingat keunikan anatomi dari saluran air kemih bagian distal baik pada jenis kelamin pria atau wanita. Pada pria saluran terakhir air mani sedangkan pada wanita letak saluran air kemih bagian distal bertetangga sangat erat dengan saluran perkelaminan.

Uretritis - Non Gonore

Namyo O. Hutapea.
Sub Bagian STD & Mikologi Bagian Rmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran USU/ RS Dr. Pirngadi
Medan.

PENDAHULUAN
Berpuluh tahun sebelumnya dikenal hanya satu penyakit infeksi yang menyerang saluran alat genital serta yang disebabkan oleh gonokokkus sehingga pada waktu dahulu tidak dapat dibedakan apakah Uretritis yang timbul disebabkan oleh infeksi gonokokkus atau non gonokokkus. Dengan penemuan berbagai antibiotika temyata kemudian bahwa uretritis dapat disebabkan infeksi oleh gonokokkus dan non gonokokkus oleh sebab terbukti berbeda hasil pengobatan oleh dua jenis antibiotika terhadap uretritis yang disebabkan kedua golongan tersebut. Akibatnya selama bertahun dikenal dengan sebutan infeksi oleh gonokokkus (= Uretritis gonore) dan infeksi oleh non-gonokokkus (= Uretritis non gonore) (10).
Uretritis Non Spesifik termasuk ke dalam golongan Uretritis Non-Gonore. Sebenarnya penggunaan istilah Uretritis Non-Spesifik tidak begitu tepat oleh sebab dengan kemajuan teknik pemeriksaan laboratorium pada saat ini telah mulai dapat ditentukan Organisme yang patogen yang spesifik pada sebagian Uretritis Non-gonore.

Horseshoe Kidney

Achmad Effendi *, Jacobus Tarigan *, Harun Rasyid Lubis. **
* Bagian Anatomi dan ** Bagian llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU/ RS.Dr. Pirngadi
Medan.

PENDAHULUAN
Suatu bentuk anomali pada ginjal, horseshoe kidney, ialah penggabungan kedua ginjal kanan dan kiri oleh bagian yang disebut isthmus, melalui kedua pole (extremitas) atas atau bawah. Yang terbanyak penyatuan kedua pole bawah, sedangkan kedua pole atas hanya sekitar 5 — 10% (3). Besamya isthmus sangat bervariasi, kadang-kadang merupakan bagian yang lengkap terdiri dari jaringan ginjal (parenchymatous tissue), tetapi pada beberapa kasus, hanya merupakan bagian kecil yang terdiri dari jaringan ikat (fibrous tissue) (1). Dari hasil autopsi, anomali ini tidak jarang dijumpai, meliputi 1 : 600 sampai 1 : 800 dari seluruh kasus (3).
Letak kedua ginjal relatip lebih berdekatan dan lebih rendah dari biasa, 40% diantaranya mencapai ketinggian normal (3). Kedua ginjal biasanya terdapat pada sisi yang berlainan, di kanan kiri columna vertebralis, bisa juga keduanya terletak pada satu sisi, dalam hal ini salah satu di antara kedua ginjal tersebut terletak di atas lainnya (2).

Pengelolaan pada Ruda Paksa Traktus Urogenitalis

Talib Bobsaid
Seksi Urologi Bagian llmu Bedah
Fakultas Kedokteran UNAIR / RS Dr. Soetomo
Surabaya.

PENDAHULUAN
Dengan makin meningkatnya mekanisasi dalam pelbagai bidang industri, makin padatnya arus lalu lintas dengan pelbagai bentuk kendaraan dan makin meningkatnya kontak badan dalam pelbagai jenis olah raga maka insiden ruda paksa pada organ traktus urogenitalis makin meningkat pula.
Semua bentuk ruda paksa yang memberikan hematuria yang mikro maupun makro serta perdarahan melalui urethra hendaknya diteruskan dengan pemeriksaan yang lebih teliti dan terarah berupa pembuatan intra venus pyelogram dan cystourethrogram. Terbatasnya sarana pemeriksaan ini di daerah tidaklah berarti kita mengurangi kewaspadaan akan ruda paksa pada organ ini, lebih-lebih bila didapatkannya tanpa ruda paksa, baik berupa hematoma, adanya massa, rasa nyeri serta tanda-tanda seperti yang kami sebutkan di atas tadi. Tidak terdapatnya hematuria tidaklah dapat diartikan bahwa tidak ada kerusakan organ-organ traktus urogenital akibat ruda paksa. Seperti kita ketahui bahwa kerusakan organ-organ traktus urogenital tidak berdiri sendiri, melainkan menyertai ruda paksa dari organ lain seperti organ intra-abdominal, maka tidak jarang penderita datang di tempat kita dalam keadaan yang gawat, umpama shock. Dalam hal yang demikian tentunya semua pemeriksaan Radiologi ditangguhkan sampai keadaan gawat penderita dapat diatasi.

Diagnosa Tumor Prostat dengan Biopsi Aspirasi Transrektal

Gani Tambunan
Bagian Patologi Anatomik
Fakultas Kedokteran USU
Medan.

PENDAHULUAN
Diagnosa dini karsinoma prostat sulit ditentukan oleh karena pada stadium permulaan gejala klinik sangat minimal ataupun asimptomatik. Palpasi rektum secara rutin pada usia di atas 40 tahun dianjurkan untuk membantu menemukan karsinoma prostat sedini mungkin. Pembesaran prostat terutama adanya nodul di bagian posterior merupakan pertanda kemungkinan karsinoma prostat. Akan tetapi Jewett mengemukakan bahwa akurasi diagnostik palpasi prostat hanya mencapai 50 persen (1, 2, 10).

Diagnosa Tumor Prostat dengan Biopsi Aspirasi Transrektal

Gani Tambunan
Bagian Patologi Anatomik
Fakultas Kedokteran USU
Medan.

PENDAHULUAN
Diagnosa dini karsinoma prostat sulit ditentukan oleh karena pada stadium permulaan gejala klinik sangat minimal ataupun asimptomatik. Palpasi rektum secara rutin pada usia di atas 40 tahun dianjurkan untuk membantu menemukan karsinoma prostat sedini mungkin. Pembesaran prostat terutama adanya nodul di bagian posterior merupakan pertanda kemungkinan karsinoma prostat. Akan tetapi Jewett mengemukakan bahwa akurasi diagnostik palpasi prostat hanya mencapai 50 persen (1, 2, 10).
Untuk mempertinggi akurasi diagnostik karsinoma prostat oleh beberapa penulis dilaporkan hasil penelitian dengan mempergunakan metode tertentu antara lain : pemeriksaan sitologi sekresi prostat (Pap's smear), biopsi perineal ataupun transrektal dengan mempergunakan jarum Silverman dan biopsi aspirasi perineal ataupun transrektal dengan mempergunakan jarum halus.

Uropati Obstruktif

Menam Ginting
Bagian llmu Bedah
Fakultas Kedokteran USU/ RS Dr. Pirngadi
Medan.

Saluran air kemih adalah sesusunan alat tubuh yang berperan untuk membentuk dan menyalurkan air kemih, terdiri dari ginjal, piala, ureter, kandung kemih dan uretra. Air kemih adalah cairan hasil produksi ginjal dari darah, mengandung bahan sisa hasil pertukaran zat yang larut di dalam air untuk dibuang keluar dari tubuh. Kaitan lintasan dan gerak alir air kemih sebagai berikut :

Gangguan Miksi pada Hipertrofi Prostat

Basuki Chitra, Usul Sinaga, Jusuf Wibisono
Bagian Ilmu Bedah
Fakultas KedokteranUSU/ RS.Dr. Pirngadi,
Medan

PENDAHULUAN
Gangguan miksi merupakan keluhan yang sangat mengganggu penderita. Pada penderita laki-laki usia tua diatas 50 tahun umumnya yang menyebabkan gangguan miksi adalah hipertrofi prostat. Menurut Blandy pada hakekatnya semua pria yang sehat yang berusia diatas 40 tahun cenderung untuk menderita hipertrofi prostat, dan hanya kira-kira 10% dari mereka ini yang akan menampilkan gejala-gejala hipertrofi prostat, disertai dengan gangguan-gangguan miksi kelak di kemudian hari. (1).
Selanjutnya dikatakan bahwa tidak ada satu suku bangsapun didunia ini yang kebal terhadap penyakit ini, hanya berbeda di dalam jumlah persentase saja. (1) Menurut Brows dkk suku bangsa Negro tercatat dalam persentase kecil, dan penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui. Ketidakseimbangan antara hormon estrogen — androgen dalam darah mungkin memegang peranan penting pada proses terjadinya hipertrofi prostat. (4)

Manifestasi Klinis Prostatitis

Ashar Tanjung, Alwinsyah Abidin, Harun Rasjid Lubis
Bagian llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU / RS Dr. Pimgadi
Medan

PENDAHULUAN
Prostat adalah merupakan suatu organ, dijumpai pada pria berbentuk buah berangan (chest nut) terdiri dari dua bagian yaitu otot dan kelenjar, mengelilingi permukaan urethra dan mengeluarkan cairan berbentuk susu yang merupakan bagian semen untuk membawa sel sperma kepada wanita waktu sanggama. Bila organ ini mengalami inflamasi atau infeksi maka timbullah prostatitis. 
Dalam klinik prostatitis ini tidak jarang dijumpai baik disebabkan non-bakterial (prostatosis) atau oleh bakteri sendiri yang bersifat akut atau kronis. Menurut hasil penyelidikan kuman penyebab bakterial prostatitis tidak berbeda dalam tipe dan prevalensinya dengan kumam penyebab infeksi saluran kemih (ISK)(2). Patogenese timbulnya bakterial prostatitis sampai sekarang belum jelas diketahui, tetapi dugaan bisa berasal dari urethra yang terinfeksi, reflux dari urine yang terinfeksi ke dalam saluran prostat, invasi bakteri usus secara langsung atau secara limfogen dan akibat infeksi secara hematogen (3).

Infeksi Saluran Kemih Pasca Kateterisasi

Harun Rasyid Lubis, Manuasa Pinem, Mangara Silalahi
Bagian llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU/ RS Dr. Pirngadi
Medan

Pendahuluan
Infeksi saluran kemih merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai dalam bidang nefrologi dan urologi. Kass mengemukakan 15 - 20% wanita pasti mngalami peristiwa ini didalam riwayat hidupnya (1). Pengeluaran air seni melalui kateter juga merupakan tindakan yang sering diperlukan untuk menolong penderita. Tata cara yang aseptis merupakan syarat mutlak untuk tindakan ini agar infeksi dapat dicegah. Akan tetapi tata cara yang aseptis inipun ataupun chemopropylaxis tidak dapat sama sekali menghilangkan kemungkinan terjadinya infeksi. Ini sehubungan dengan bentuk anatomis muara urethra yang tidak dapat dicapai antisepticum sehingga cairan yang ada di dalam muara urethra tersebut dapat didorong oleh kateter ke vesica urinaria sehingga urine kandung kemih yang dasarnya steril itu dapat terkontaminasi (2). Instrumentasi saluran kemih pun memberi resiko yang besar untuk menyebabkan terkontaminasinya urine kandung kemih (3). Infeksi urine kandung kemih dapat menimbulkan akibat-akibat lanjutan bahkan sampai mungkin menimbulkan pyelonefritis dan akhirnya kegagalan ginjal (4). Bila infeksi kandung kemih ini adalah symtomatis, tentu penderita ataupun dokternya akan bertindak, akan tetapi sering pula terjadi infeksi asymtomatis sehingga dapat menimbulkan bahaya latent (5).

Peranan Asam Jengkol pada Keracunan Buah Jengkol

Oen L.H.
Bagian Biokimia
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta

Keracunan jengkol atau kejengkolan merupakan salah satu sebab payah ginjal akut (acute renal failure), akan tetapi kematian yang disebabkan oleh keracunan ini jarang sekali terjadi.
Penetapan diagnosis keracunan jengkol bagi seorang dokter yang pemah melihat kasus keracunan jengkol dan pernah mencium bau khas jengkol memang tidak terlalu sulit. Anamnesa yang cukup teliti akan mengungkapkan bahwa gejalagejala keracunan timbul beberapa waktu setelah memakan buah jengkol. Pengobatannyapun tidak terlalu sulit. Dalam rumah sakit diusahakan agar diuresis dapat berlangsung kembali melalui pemberian cairan melalui infus yang dibuat sedikit alkalis dengan natrium bikarbonat.

Pengobatan dan Pencegahan Batu Saluran Kemih (BSK) Berulang

Harun Rasyid Lubis, * Rustam Effendi Ys, * Burhanuddin Nasution, **
Nurmansyah T,** Hasanui Arifin, *** Ahmad Yusuf.***
* Bagian llmu Penyakit Dalam, ** Bagian Patologi Klinik, *** Bagian Gizi
Fakultas Kedokteran USU / RS Dr. Pirngadi
Medan

PENDAHULUAN
Robertson dkk. (1) telah membuktikan di Inggris bahwa Batu Saluran Kemih (BSK) insidensnya meningkat dengan adanya peningkatan konsumsi protein hewani. Oleh karena itu besar sekali kemungkinan bahwa masalah BSK ini akan menjadi masalah yang semakin besar di Indonesia, sehubungan dengan perbaikan taraf hidup rakyat dengan adanya Program Perbaikan Gizi yang dilancarkan oleh Pemerintah. Harus pula diingat bahwa Indonesia terletak pada kelompok Negara didunia yang dilewati oleh Sabuk batu (Stone belt) (2). Telah dikemukakan pula bahwa kelompok masyarakat yang cenderung untuk memperoleh batu justru golongan masyarakat yang termasuk "elite" seperti para dokter dan para perwira angkatan bersenjata. Di antara para dokter, para ahli bedah dan anestesi dikenal mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi. (3) 
Sekitar 90% dari BSK adalah batu yang mengandung kalsium (4). Oleh karena itu banyak perhatian ditujukan kepada

Pengelolaan Penderita dengan Keluhan Hematuria

Djoko Raharjo dan Firdaoessaleh
Bagian llmu Bedah Sub. Bagian Urologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr. Ciptomangunkusumo
Jakarta.

PENDAHULUAN
Hematuri atau ditemukannya darah dalam urine merupakan suatu gejala yang penting dalam bidang urologi. Hematuri selalu menyebabkan penderita mencari pertolongan dokter. Seorang yang menderita hematuri harus diperiksa selengkapnya untuk mengusahakan agar penyebab dan kalau dapat lokalisasi perdarahan dapat diketahui. Apabila kita meninjau kemungkinan penyebab hematuri maka setiap penderita dengan hematuri harus kita anggap suatu keadaan yang serius.
Secara klinik hematuri dibagi menjadi 2 golongan yaitu hematuri makroskopik (= makrohematuri) dan hematuri mikroskopik (= mikrohematuri). Hematuri makroskopik ialah
kencing bercampur darah dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Makrohematuri sudah dapat terjadi apabila terdapat 1 cc darah dalam 1 liter urine. Mikrohematuri ialah hematuri yang hanya dapat dikenal dengan menggunakan mikroskop. Apabila dengan pembesaran 500 kali pada sedimen urine ditemukan lebih dari sepuluh erythrocyt maka akan memberikan test benzidin positif.

Penyakit Ginjal pada Kehamilan

Enday Sukandar
Sub. Bagian Ginjal & Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNPAD /RS. Hasan Sadikin
Bandung.

PENDAHULUAN
Keadaan ginjal selama kehamilan harus mendapat perhatian khusus, karena terdapat perubahan-perubahan fisiologik seperti renal blood flow dan glomerulo-filtration rate, laktosuri dan glikosuri, proteinuri ortostatik, dilatasi ureter dan pelvis, retensi natrium dan air, penurunan asam urat dalam darah, dan penurunan tekanan darah pada trimester l dan II.
Selama kehamilan normal, penjernihan (clearance) ginjal lebih efektif pada posisi tiduran (supine) daripada posisi berdiri atau duduk. Bila pasien menderita sembab dan istirahat tiduran selama 24 jam, diuresis lebih efektif daripada pasien rawat jalan sekalipun dengan pemberian diuretik. Glomerulofiltration rate naik mencapai 50% dari normal pada kehamilan minggu ke-12 dan persisten sampai akhir dari kehamilannya. Renal plasma flow juga meningkat bersamaan dengan kenaikan GFR.

Pemilihan dan Dosis Obat pada Penderita Payah Ginjal

Arini Setiawati * dan Bambang Suharto **
* Bagian Farmakologi Fakultqs Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
** Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN
Pemberian obat pada penderita payah ginjal dapat ditujukan pada penyakit ginjalnya maupun pada berbagai penyakit lain yang menyertai. Obat-obat yang eliminasinya terutama melalui ekskresi ginjal akan terakumulasi dengan adanya gangguan fungsi ginjal dan dapat menimbulkan efek toksik atau memperburuk keadaan ginjalnya bila aturan dosisnya tidak disesuaikan. Selain gangguan pada ekskresi obat, payah ginjal juga dapat menimbulkan gangguan/perubahan pada proses-proses farmakokinetik yang lain, yakni pada biotransformasi, distribusi, ikatan protein, dan absorpsi obat. Efek farmakodinamik obat juga dapat mengalami perubahan dengan adanya gangguan fungsi ginjal. Dialisis, yang dilakukan pada penderita payah ginjal, akan mengeliminasi berbagai jenis obat, dan mungkin juga akan mengganggu efek farmakodinamik obatobat tertentu.
Dalam makalah ini akan dibahas dasar-dasar farmakologik yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan dan penyesuaian dosis obat pada penderita payah ginjal.

PERUBAHAN—PERUBAHAN DALAM FARMAKOKINETIK
DAN FARMAKODINANIIK OBAT PADA PAYAH GINJAL

Klasifikasi Histopatologik Glomerulopati Primer

S. Himawan
Bagian Patologi Anatomik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS.Dr. Ciptomangunkusumo
Jakarta.

Glomerulus memegang peranan utama dalam anatomi dan fisiologi ginjal. Dan penyakit glomeruler merupakan salah satu masalah terpenting yang dihadapi dalam bidang nefrologi.
Zaman nefrologi modern dapat dikatakan mulai pada tahun 1827, saat Richard Bright (1) menguraikan beberapa ciri penyakit ginjal. Ia sudah dapat menetapkan adanya hubungan kausal antara edema yang menyeluruh dengan berbagai kelainan anatomik tertentu pada ginjal, meskipun hanya berdasarkan pengamatan makroskopik saja. Sejak saat itu terkenal istilah " penyakit Bright", untuk menggambarkan penderita dengan hidrops, albuminuria dan kelainan anatomik pada ginjal. Adapun istilah glomerulonefritis, pertama kali digunakan oleh Klebs (2) pada tahun 1876. Ia menguraikan glomerulonefritis sebagai suatu nefritis interstisial yang mengenai jaringan interstisial glomerulus secara eksklusif. Witting (3) dan Heptinstall (4) telah membuat rangkuman daripada sejarah berbagai klasifikasi glomerulopati. Klasifikasi yang dahulu sangat banyak dianut ialah klasifikasi Volhard dan Fahr (5), yang dibuat pada tahun 1914. Secara klinik mereka membagi glomerulonefritis dalam dua golongan besar, yaitu bentuk yang difus dan yang fokal. Yang difus dibagi lagi atas 3 stadium, yaitu stadium akut, stadium kronik tanpa insufisiensi ginjal dan stadium akhir dengan insufisiensi ginjal. Sedangkan secara patologik dibagi dalam 3 golongan, yaitu glomerulonefritis

Hipertensi Renal

Made Sukahatya
Sub. Bagian Ginjal — Hipertensi Bagian llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNAIR
Surabaya.

PENDAHULUAN
Peranan ginjal dalam terjadinya hipertensi telah dikirakan oleh R.Bright dalam tahun 1836, akan tetapi baru menjadi konsep penting setelah percobaan klasik dari Dr. Harry Goldblatt pada tahun 1934 (3, 8, 18). Untuk masa berikutnya terjadi periode kekacauan klinik tentang hubungan ginjal dan hipertensi. Ada kelompok sarjana yang berpendapat bahwa etiologi dari semua hipertensi adalah kelainan ginjal; kelompok lain berpendapat sebaliknya yaitu bahwa ginjal jarang sekali memegang peranan dalam terjadinya hipertensi.
Pada masa kini kebanyakan sarjana berpendapat bahwa antara hipertensi dan penyakit ginjal terdapat jalinan hubungan sebab-akibat yang erat sekali. Semua sebab-sebab primer dari hipertensi dapat menyebabkan kelainan ginjal akibat tingginya tekanan darah per se ; kelainan ginjal tersebut bila cukup berat, akan menyebabkan hipertensinya menetap walaupun sebab primernya dapat dihilangkan. Pemakaian obat-obat untuk menormalkan tekanan darah akan mencegah atau memperlambat kerusakan ginjal, walaupun sebab primernya tetap ada (3, 8, 12, 13, 14, 18). Sebaliknya, penyakit ginjal primer sering mengakibatkan timbulnya hipertensi.

Saturday 25 September 2010

Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik dan Kemajuannya

R.P. Sidabutar
Sub. Bagian Ginjal & Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Dr. Ciptomangunkusumo
Jakarta.

Gagal Ginjal Kronik adalah suatu kerusakan kekurangan fungsi ginjal yang hampir selalu tidak reversibel dan sebabnya bermacam-macam. Uremia adalah istilah yang sudah lama dipakai yang menggambarkan suatu gambaran klinik sebagai akibat gagal ginjal. Sebenarnya pada dewasa ini sudah dipahami bahwa retensi urea di dalam darah bukanlah penyebab utama gejala gagal ginjal, bahkan binatang percobaan yang diberi banyak urea secara intravena, tidak menunjukkan gejala-gejala uremia. Banyak istilah yang dalam bahasa Inggris dipakai untuk menggambarkan gagal ginjal, tetapi renal failure merupakan istilah yang lazim dipakai.
Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :
1. Kelainan parenkim ginjal
a. Penyakit ginjal primer
Glomerulonefritis
Pielonefritis
Ginjal polikistik
TBC ginjal
b. Penyakit ginjal sekunder
Nefritis lupus
Nefropati analgesik
Amiloidosis ginjal
2. Penyakit ginjal obstruktip
– Pembesaran prostat batu,
– Batu saluran kencing, dll.

Anuria

J. Puji Rahard jo
Bagian llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /RS. Dr. Ciptomangunkusumo
Jakarta.

Anuria arti sesungguhnya adalah suatu keadaan dimana tidak ada produksi urine dari seorang penderita. Dalam pemakaian klinis diartikan keadaan dimana produksi urine dalam 24 jam kurang dari 100 ml. Keadaan ini menggambarkan gangguan fungsi ginjal yang cukup berat dan hal ini dapat terjadi secara pelan-pelan atau yang datang secara mendadak.
Yang datang pelan-pelan umumnya menyertai gangguan ginjal kronik dan biasanya menunjukkan gangguan yang sudah lanjut. Yang timbul mendadak sebagian besar disebabkan gagal ginjal akut, yang secara klinis dipakai bersama-sama dengan keadaan yang disebut oliguria, yaitu keadaan dimana produksi urine dalam 24 jam antara 100 — 400 ml. Sebab-sebab anuria/

Pengelolaan Gagal Ginjal Akut

M. Rachmat Soelaeman, E. Sukandar dan Herriyati
Sub . Bagian Ginjal — Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran / RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung.

PENDAHULUAN
Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom klinik dengan etiologi macam-macam, ditandai oleh penurunan mendadak dari faal ginjal, biasanya (tetapi tidak selalu) disertai oliguri (1). Yang dimaksud dengan nekrosis tubuler akut (NTA) oleh kebanyakan penulis adalah GGA yang tidak ada hubungan dengan obstruksi, penyakit-penyakit primer glomerulus atau vaskulus (2), Menurut Sharpstone (3): NTA adalah sindrom yang disebabkan oleh iskemi atau luka-luka toksik terhadap ginjal ditandai oleh penghentian mendadak faal ginjal dan diikuti oleh penyembuhan spontan, biasanya dalam waktu 4 minggu. Epstein (4) berpendapat bahwa istilah NTA (atau lower nephron nephrosis) menunjukkan sindrom klinik dan patologik

Perdarahan Bilik Depan Bola Mata Akibat Rudapaksa (Traumatic Hyphaema)

dr. Admadi Soeroso
Bagian llmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSU Mangkubumen
Surakarta

PENDAHULUAN
Salah satu di antara sekian banyak penyebab kebutaan, yang sering dijumpai adalah persentuhan mata dengan benda tumpul, misalnya traumatic hyphaema. WaIaupun rudapaksa yang mengenai mata tidak selalu merupakan penyebab utama dari kebutaan, namun merupakan faktor yang cukup sering mengakibatkan hilangnya penglihatan unilateral. Maka dari itu, masalah rudapaksa pada mata masih menjadi satu - masalah yang perlu mendapat perhatian dan Gombos menganggapnya sebagai salah satu ocular emergencies (1). HaI ini disebabkan karena masih seringnya timbul komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan di samping cara perawatan yang terbaik masih di perdebatkan oleh para sarjana. Dalam tuIisan singkat ini penulis berusaha menyajikan cara perawatan penderita dengan perdarahan bilik depan bola mata karena rudapaksa, sehingga kasus-kasus tersebut segera dapat ditangguIangi guna menghindari timbulnya komplikasi yang mungkin terjadi.
 
DEFINISI
Hyphaema adalah

Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan

dr. Muh. Dikman Angsar
Bagian Obstetri dan Ginekologi 
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RS.Dr. Soetomo - Surabaya

Salah satu penyulit yang paIing sering dijumpai pada kehamilan ialah anemia defisiensi besi. Angka kejadian di beberapa negara menunjukkan angka yang berbeda-beda: Hal ini tergantung dari : keadaan gizi dan tinggi rendahnya penyebaran penyakit infeksi parasit. Namun haI yang pasti dapat dikatakan, ialah bahwa angka kejadian anemia pada kehamilan di negara-negara yang sedang berkembang tentu cukup tinggi: Wanita hamil yang menderita anemia digolongkan pada kehamilan risiko tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena anemia pada wanita hamil dapat memberi penyulit-penyulit yang cukup berat, baik untuk ibu maupun janinnya:
GejaIa anemia, kadang-kadang tidak jelas didapatkan, karena gejala yang timbuI mirip perubahan-perubahan yang wajar dijumpai pada kehamilan: OIeh karena itu dokter perlu dapat membedakan sedini mungkin adanya anemia pada kehamilan dengan gejala-gejala yang memang wajar dijumpai pada kehamilan.

PERUBAHAN—PERUBAHAN FISIOLOGIK SISTEM HEMATOLOGIK PADA KEHAMILAN.
Pada kehamilan terjadi perubahan-perubahan hematologik yang dalam batas-batas tertentu adalah wajar: Perubahan hematologik yang menonjol ialah : (A) Perubahan plasma darah, (B) Perubahan sel-sel darah, (C) Akibat perubahan kedua hal tersebut akan timbul anemia fisiologik.

Penggunaan Beta-Blocker pada Penyakit Kardiovaskuler

dr. Abidin A. Prawirakusumah
Sub-Bagian Kardiovaskuler, Bagian Ilmu Penyakit Dalam ,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS dr: Hasan Sadikin
Bandung

Setelah Ahlquist mengemukakan konsep pembagian reseptor sistem adrenergik dalam reseptor alfa & reseptor beta, berkembanglah penyelidikan-penyelidikan obat-obat yang secara spesifik menghambat reseptor-reseptor itu. Obat penghambat reseptor beta, atau yang sering disebut beta-blocker bersifat mengurangi atau menghilangkan efek stimulasi pada reseptor beta oleh katekolamin (noradrenalin dan adrenalin) yang dihasilkan pada ujung postganglion saraf simpatik dan pada medula suprarenalis:
Dalam klinik beta-blocker antara lain digunakan untuk pengobatan beberapa penyakit kardiovaskuler dan ternyata sangat efektif (1). Di bawah ini akan dibahas masing-masing keadaan klinik yang dapat diobati/ditanggulangi dengan obat tsb.
Tachiaritmia kordis Beta-blocker sangat efektif untuk pengobatan gangguan irama jantung tachiaritmia yang disebabkan meningkatnya aktivitas simpatik terhadap jantung atau oleh meningkatnya konsentrasi katekolamin oleh beberapa sebab, umpamanya pemberian digitalis, hipoksia, hipokalemi atau hipotensi (2).

Penyakit Jantung Hipertensi

dr. Benyamin Widjajakusuma
Sub-Bagian Kardiovaskuler, Bagian llmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin
Bandung

PENDAHULUAN
Hipertensi menyebabkan dua masalah penting pada jantung
1. Hipertensi menyebabkan pembesaran ventrikel kiri yang disusul dengan kegagalan jantung.
2. Hipertensi mempercepat timbulnya proses aterosklerosis dan menyebabkan penyakit jantung koroner.
Kapan seorang dengan hipertensi akan jatuh dalam kegagalan jantung tidak dapat diketahui dengan pasti. Seorang penderita hipertensi kronik walaupun tekanan darahnya tinggi:, dapat hidup bertahun-tahun tanpa terjadi komplikasi pada jantung; sedangkan seorang dengan pheochromocytoma, glomerulonefritis akuta, atau toxemia gravidarum dapat dengan mudah jatuh dalam kegagalan jantung walaupun tekanan darahnya tidak begitu tinggi.
Jadi agaknya tidak ada hubungan langsung antara tingginya tekanan darah dengan terjadinya kegagalan jantung, dan kegagalan jantung bukanlah suatu komplikasi yang harus terjadi pada hipertensi. Anggapan dulu bahwa penyakit jantung hipertensi yang sudah menimbulkan kegagalan jantung, mempunyai prognosis yang buruk, tidak selalu benar. Ternyata dengan menurunkan tekanan darah arteriil, fungsi jantung menjadi baik kembali.

HIPERTENSI ESENSIAL : Patogenesa, Patofisiologi & Peranan Beta-Blocker

dr. Enday Sukandar
Sub - Bagian Ginjal & Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin
Bandung

PENDAHULUAN
Hipertensi Esensial (HE) merupakan kelainan atau penyakit (?) yang sering ditemukan di klinik, hampir 80 % dari semua penyebab hipertensi. Pada umumnya ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin atau penderita dirawat dengan penyulit-penyulit sistim vaskuler. Kematian HE terutama disebabkan penyulit stroke atau infark miokard dan
sangat jarang disebabkan kegagalan ginjal (1).
Terapi HE semata-mata simptomatik untuk mencegah penyulit vaskuler. Terapi simptomatik akan berhasil bila memahami dasar-dasar mekanisme patogenesa dan patofisiologi hipertensi. Brunner dkk. (2) mensinyalir bahwa renin mempunyai efek vaskulotoksik. Penentuan plasma renin merupakan indikator untuk evaluasi penyulit-penyulit vaskuler.
Beever (3) mengemukakan bahwa pengobatan hiper tensi dapat mencegah penyulit stroke tetapi infark miokard sulit dihindarkan. Sebagai implikasi terapi, perlu diberikan, obat-obat antihipertensi yang dapat menekan plasma renin yang mempunyai efek vaskulotoksik tersebut. Propanolol merupakan beta-blocker pertama yang dilaporkan dapat menekan plasma renin (4). Sejak saat itu, banyak laporan hasil "percobaan klinik" dari macam-macam beta-blocker untuk terapi hipertensi.

PATOGENESA & PATOFISIOLOGI

Strategi Terapi Hipertensi Esensial

dr. M. Rachmat Soelaeman
Sub-Bagian Ginjal & Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS dr. Hasan Sadikin
Bandung

PENDAHULUAN
Hipertensi telah lama diketahui dan prevalensi hipertensi berkisar antara 10 — 20% dari jumlah penduduk. Sebagian besar (90 — 95%) penderita hipertensi adalah hipertensi esensial
(1) dan Wilkins dkk. (2) menyatakan bahwa setiap hipertensi adalah hipertensi esensial sampai dapat dibuktikan lain.
Kadang-kadang seorang dokter mendapat kesulitan, kapankah seorang penderita dinyatakan menderita hipertensi. Untuk mengatasi hal ini dapat kita berpegang pada kriteria hasil sebuah komite. Sebuah komite yang dibentuk oleh Experimental Medical Care Review Organisation (EMCRO) di Amerika menentukan bahwa kriteria hipertensi yang menetap adalah sebagai berikut (3):
(a). Apabila tekanan darah tetap tinggi setelah diperiksa 3 kali berturut-turut dengan interval tidak kurang dari satu minggu.
(b). Apabila 3 dari 4 kali pengukuran tekanan darah yang dilakukan 2 hari berturut-turut, tekanan diastolik lebih dari 100 mm Hg.
(c) Pada wanita hamil adanya hipertensi menetap ditentukan setelah 6 minggu post partum.
(d). Pada wanita yang memakai oral kontrasepsi, obat tersebut harus dihentikan 4 - 6 bulan dulu sebelum diagnosa hipertensi ditentukan.
Menurut Freis (4) hipertensi esensial dibagi dalam beberapa tingkatan :

Berbagai Pemeriksaan Imunologi untuk Menunjang Diagnosa

dr. Siti Boedina Kresno
Bagian Patologi Klinik 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

Perkembangan yang pesat dalam imunobiologi dan imunokimia membuka jalan bagi kinik untuk secara luas menerapkan pemeriksaan laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosa dan sebagai pedoman penatalaksanaan penderita. Secara umum pemeriksaan imunologi dalam menunjang diagnosa tersebut dibagi dalam dua golongan1 , yaitu :
I. pemeriksaan imunologi untuk menentukan kompetensi imunologik baik pada orang normal maupun pada kelainan respons imunologik.
II. pemeriksaan imunologi yang dipakai untuk menunjang diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik.
 
Dalam makalah ini penulis membatasi diri pada prinsip-prinsip imunodiagnostik in vitro yang pada saat ini telah dapat dilakukan di laboratorium Patologi Klinik FKUI/RSCM. Disamping itu akan dikemukakan pula beberapa tes untuk menguji respons imunologik seluler yang sepengetahuan penulis telah dapat dilakukan di laboratorium -laboratorium tertentu di Indonesia.
Pada bagian lain tulisan ini akan dikemukakan prinsi-prinsip berbagai tes imunokimia yang selain dapat dipakai untuk menguji respons imunologik humoral juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik.

Pengelolaan Kesukaran Tidur pada Usia Lanjut

dr. A. Tanumihardja 
Rumah Sakit Jiwa Ujung pandang

PENDAHULUAN
Proses "menua" adalah suatu proses yang alamiah yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun juga. Pada usia lanjut sering terjadi perubahan fisik dan mental. Diantara perubahan-perubahan itu yang sering kita dengar ialah kesulitan tidur, berupa kesukaran untuk mulai tidur; atau sering terbangun; atau tidur cepat dan dalam, tetapi terlalu cepat bangun dinihari dan setelah terbangun tidak bisa tidur lagi.
Tidur adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Diperkirakan sekurang-kurangnya sepertiga dari masa hidup manusia yang sehat dilewatkan di tempat tidur. Manusia yang normal dapat tahan tidak makan atau tahan tidak minum selama beberapa hari bahkan sampai beberapa minggu, akan tetapi tidak tahan untuk tidak tidur selama beberapa hari saja.
Tidur memberi istirahat kepada otak dan tubuh kita. Setelah bangun tidur apalagi setelah tidur yang nyenyak, maka kita segar kembali. Seorang yang terganggu tidurnya, terutama gangguan tidur yang sudah berlangsung lama, biasanya menjadi mudah tersinggung, rasa pusing, dan gairah kerja berkurang dan kadangkadang disertai macam-macam keluhan somatik yang sifatnya fungsional belaka.

Kemoprofilaksis Malaria

dr Putu Sutisna, dr Nengah Kapti, dr Nyoman Wartana, dr Ketut Ngurah
Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali

PEDOMAN PEMAKAIAN OBAT DALAM KEMOPROFILAKSIS
Sebelum menetapkan pilihan obat untuk profilaksis malaria perlu diperhatikan beberapa hal yaitu bagaimana intensitas penularan malaria di daerah yang dimasuki, besarnya kemungkinan untuk mendapat infeksi, spesies malaria yang dominan, serta adanya P. falciparum resisten terhadap klorokuin. Jelaslah sulit atau tidak mungkin untuk mennnuskan satu cara tertentu yang berlaku untuk semua keadaan. Bila bahaya malaria kecil dan hanya ada malaria vivax, biasanya cukup dengan dosis minimal. Sebaliknya, bila kemungkinan infeksi lebih besar dan malaria falciparum banyak, dosis maksimal dapat digunakan. Di bawah ini diberikan pedoman praktis untuk profilaksis :
I. Untuk daerah dengan P.falciparum sensitif terhadap klorokuin.
WHO menganjurkan satu di antara 4 jenis obat berikut ini :
— Klorokuin, amodiakuin (tergolong 4-amoni-kuinolin)
— Proguanil, pirimetamin (tergolong "DHFR inhibitor")

Komplikasi Kardiovaskuler pada Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM)

dr. Amirullah. R
Karo Pulmonologi Rumkital dr. Mintoharjo, Jakarta

PENDAHULUAN
Pada dasarnya yang dimaksud dengan PPOM ialah bronkhi tis menahun dan emfisema paru. Jonston tahun 1973 secara klinik radiologik dan fisiologik membahas PPOM kedalam 5 golongan :
1. Emfisema paru.
2. Bronkhitis menahun.
3. Campuran bronkhitis menahun dan emfisema paru
4. Bronkhitis asmatis.
5. Lain-lain, PPOM yang disertai atau akibat penyakit antara lain tbc paru, pasca bedah paru, bronkhitis dll.
 
Walaupun masing -masing golongan mempunyai karakteristik tersendiri tetapi secara klinik, radiologik dan fisiologik sering terdapat "overlapping" satu sama lain sehingga diagnose pasti dari salah satu golongan sukar ditetapkan.
Klassifikasi fungsionil
Menurut American Thoracic Society tahun 1962 secara fungsional penderita-penderita PPOM dapat dibagi dalam empat
tingkatan :
1. Tingkat I, dapat berjalan di tempat yang datar tanpa menimbulkan rasa sesak nafas sesuai dengan orang normal tetapi tidak di tempat mendaki.
2. Tingkat II, dapat berjalan di tempat yang datar sejauh satu mil tanpa menimbulkan rasa sesak nafas.
3. Tingkat III, timbul rasa sesak nafas setelah berjalan ± 100 m di tempat yang datar.
4. Tingkat IV, rasa sesak nafas sudah timbul sewaktu berbicara atau memakai pakaian.

Pemeriksaan Radiologik Jantung

dr. Susworo
Bagian Radiologi 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM,
Jakarta

Pemeriksaan radiologik jantung merupakan salah satu bagian yang esensial pada penelitian kardiologik untuk menentukan adanya kelainan jantung.
Dalam jenis besarnya pelaksanaan pemeriksaan radiologik ini dibagi atas :
A. fluoroskopi
 
B. radiografi
1. polos
2. esophagogram
 
C. angiografi
Pemeriksaan angiokardiografi merupakan metoda pemeriksaan
yang memerlukan sarana tersendiri yang biasanya hanya
dimiliki oleh rumah sakit-rumah sakit besar.
 
A. Fluoroskopi
Pemeriksaan fluoroskopi (sinar tembus) sebenarnya saat ini
merupakan pemeriksaan tambahan apabila pada foto toraks
posteroanterior biasa didapatkan kecurigaan.
Keuntungan pemeriksaan ini adalah, bisa diteliti obyek-obyek
yang bergerak, yang tidak mungkin dicatat pada pemeriksaan
radiografi biasa. Pergerakan-pergerakan yang dinilai disini adalah:
pulsasi dari batas jantung sebelah kiri, arteri pulmonal, aorta dan
atrium kanan.

Angina Pektoris

dr. Nurhay Abdurahman
Sub Bagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

Angina pektoris adalah keadaan penderita Penyakit Jantung Koroner dengan keluhan nyeri dada (di daerah sternal dan precordial yang disebabkan karena gangguan peredaran darah koroner sehingga pada suatu saat atau pada keadaan tertentu tidak mencukupi keperluan metabolisme miokard karena meningkatnya kebutuhan oksigen dan bila kebutuhan oksigen tersebut, menurun kembali maka keluhan nyeri dada tersebut akan hilang.
Dari segi sejarah Ilmu Kedokteran ada baiknya dicatat disini bahwa : Angina pektoris telah dikenal dan telah digambarkan oleh Dr. William Heberden sejak lebih dari 200 tahun yang lalu
(tahun 1768) sebagai berikut :



Manajemen Ulkus Kaki Diabetik

JB Suharjo B Cahyono
RS RK Charitas
Palembang

Abstrak. Sebanding dengan meningkatnya prevalensi penderita diabetes melitus, angka kejadian kaki diabetik, seperti: ulkus, infeksi dan gangren kaki serta artropati Charcot semakin meningkat. Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes melitus (DM) dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi ulkus diabetika terutama ulkus kaki diabetika. Sekitar 14-24% di antara penderita kaki diabetika tersebut memerlukan tindakan amputasi. Manajemen kaki diabetika terutama difokuskan untuk mencegah dan menghindari amputasi ekstremitas bawah. Sebelum dilakukan terapi, seorang dokter yang akan menangani pasien dengan ulkus kaki diabetik sebaiknya dapat melakukan penilaian kaki diabetik secara menyeluruh, melakukan identifikasi penyebab terjadinya ulkus dan faktor penyulit penyembuhan luka serta menilai ada tidaknya infeksi. Membedakan apakah ulkus kaki diabetik disebabkan oleh faktor neuropati atau penyakit arteri perifer sangatlah penting karena revaskularisasi perlu dilakukan bila terdapat gangguan arteri perifer. Lebih dari 90% ulkus akan sembuh apabila diterapi secara komprehensif dan multidisipliner, melalui upaya; mengatasi penyakit komorbid, menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi sesuai dengan indikasi.

Pendahuluan
Salah satu komplikasi penyakit diabetes melitus yang sering dijumpai adalah kaki diabetik, yang dapat bermanifestasikan sebagai ulkus, infeksi dan gangren dan artropati Charcot. Sekitar 15% penderita diabetes melitus (DM) dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi ulkus diabetika terutama ulkus di kaki. Sekitar 14-24% di antara penderita kaki diabetika tersebut memerlukan tindakan amputasi.1 Muha J melaporkan satu di antara 5 penderita ulkus DM memerlukan tindakan amputasi.2 Berdasarkan studi deskriptif dilaporkan bahwa 6–30% pasien yang pernah mengalami amputasi dikemudian hari akan mengalami risiko re-amputasi dalam waktu 1-3 tahun kemudian setelah amputasi pertama. Ebskov B. melaporkan, sebanyak 23% pasien memerlukan re-amputasi ekstremitas ipsilateral dalam waktu 48 bulan setelah amputasi yang pertama.3

read more....
Untuk file selengkapnya silahkan download gratis file di bawah ini

Baca juga file mengenai :
1. Efek Antioksidan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoiea batatas L) terhadap Hati setelah Aktivitas Fisik Maksimal dengan Melihat Kadar AST dan ALT darah pada Mencit
2. Masalah Avian Influenza di Indonesia
3. Pengelolaan Demam Tak Terdiagnosis
4. Infark Plasenta dan Malformasi Tali Pusat dengan Kematian Janin dalam Kandungan
5. Tinjauan Klinis Penanganan Oligihidramnion di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Bali Tahun 2004 - 2006
6. Amebic Colitis dengan Gejala Darah Menetes dari Dubur